Pertentangan dan Interaksi Sosial
1.
Perbedaan Kepentingan
Kepentingan merupakan dasar dari timbulnya tingkah laku
individu. Individu bertingkah laku karena adanya dorongan untuk memenuhi
kepentingannya. Kepentingan ini sifatnya esensial bagi kelangsungan hidup
individu itu sendiri, jika individu berhasil memenuhi kepentingannya, maka ia
akan merasakan kepuasan dan sebaliknya kegagalan dalam memenuhi kepentingan
akan menimbilkan masalah baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya.
Dengan berpegang prinsip bahwa tingkah laku individu merupakan cara atau alat dalam memenuhi kebutuhannya, maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat pada hakikatnya merupakan kepuasan pemenuhan dari kepentingan tersebut.
Oleh karena individu mengandung arti bahwa tidak ada dua orang yang sama persis dalam aspek-aspek pribadinya, baik jasmani maupun rohani, maka dengan sendirinya timbul perbedaan individu dalam hal kepentingannya. Perbedaan kepentingan itu antara lain berupa :
1. kepentingan individu untuk memperoleh kasih sayang
2. kepentingan individu untuk memperoleh harga diri
3. kepentingan individu untuk memperoleh penghargaan yang sama
4. kepentingan individu untuk memperoleh prestasi dan posisi
5. kepentingan individu untuk dibutuhkan orang lain
6. kepentingan individu untuk memperoleh kedudukan di dalam kelompoknya
7. kepentingan individu untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan diri
8. kepentingan individu untuk memperoleh kemerdekaan diri
Perbedaan kepentingan ini tidak secara langsung menyebabkan terjadinya konflik tetapi mengenal beberapa fase yaitu:
1. fase disorganisasi yang terjadi karena kesalahpahaman.
2. fase dis-integrasi yaitu pernyataan tidak setuju.
fase dis-integrasi ini memiliki tahapan (Menurut Walter W. Martin dkk):
• ketidaksepahaman anggota kelompok tentang tujuan yang dicapai.
• norma sosial tidak membantu dalam mencapai tujuan yang disepakati.
• norma yang telah dihayati bertentangan satu sama lain.
• sanksi sudah menjadi lemah
• tindakan anggota masyarakat sudah bertentangan dengan norma kelompok.
Dengan berpegang prinsip bahwa tingkah laku individu merupakan cara atau alat dalam memenuhi kebutuhannya, maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat pada hakikatnya merupakan kepuasan pemenuhan dari kepentingan tersebut.
Oleh karena individu mengandung arti bahwa tidak ada dua orang yang sama persis dalam aspek-aspek pribadinya, baik jasmani maupun rohani, maka dengan sendirinya timbul perbedaan individu dalam hal kepentingannya. Perbedaan kepentingan itu antara lain berupa :
1. kepentingan individu untuk memperoleh kasih sayang
2. kepentingan individu untuk memperoleh harga diri
3. kepentingan individu untuk memperoleh penghargaan yang sama
4. kepentingan individu untuk memperoleh prestasi dan posisi
5. kepentingan individu untuk dibutuhkan orang lain
6. kepentingan individu untuk memperoleh kedudukan di dalam kelompoknya
7. kepentingan individu untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan diri
8. kepentingan individu untuk memperoleh kemerdekaan diri
Perbedaan kepentingan ini tidak secara langsung menyebabkan terjadinya konflik tetapi mengenal beberapa fase yaitu:
1. fase disorganisasi yang terjadi karena kesalahpahaman.
2. fase dis-integrasi yaitu pernyataan tidak setuju.
fase dis-integrasi ini memiliki tahapan (Menurut Walter W. Martin dkk):
• ketidaksepahaman anggota kelompok tentang tujuan yang dicapai.
• norma sosial tidak membantu dalam mencapai tujuan yang disepakati.
• norma yang telah dihayati bertentangan satu sama lain.
• sanksi sudah menjadi lemah
• tindakan anggota masyarakat sudah bertentangan dengan norma kelompok.
2. Definisi Diskriminasi dan Ethnosentris
- diskriminasi
Diskriminasi
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap
individu tertentu,
di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi
Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
ejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan
di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi
Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
ejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan
-
Ethnosentris
Ethnosentris ( dalam bhs Indonesia ) adalah
kecenderungan sikap Individu yang merasa cara hidup/ budaya mereka lebih
superior dan beradab dari yang lainnya. Etnosentrisme yaitu suatu kecenderungan
yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagaai
sesuatu yang prima, terbaik, mutlak dan diepergunakan sebagai tolok ukur untuk
menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain. Etnosentrisme merupakan
kecenderungan tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok lain
dengan tolok ukur kebudayaannya sendiri.
Ethnosentrisme dan Stereotype Perasaan dalam dan luar kelompok merupakan dasar untuk suatu sikap yang disebut dengan ethnosentrisme. Anggota dalam lingkungan suatu kelompok , punyai kecenderungan untuk menganggap segala yang termasuk dalam kebudayaan kelompok sendiri sebagai utama, baik riil, logis, sesuai dengan kodrat alam, dan sebagainya, dan segala yang berbeda dan tidak masuk ke dalam kelompok sendiri dipandang kurang baik, tidak susila, bertentangan dengan kehendak alam dan sebagainya. Jecenderungan-jecenderungan tersebut disebut dengan enthosentrisme, yaitu sikap untuk menilai unsur-unsur kebudayaan orang lain dengan mempergunakan ukuran-ukuran kebudayaan sendiri.
Sikap enthosentrisme ini diajarkan kepada anggota kelompok baik secara sadar maupun secara tidak sadar, bersama dengan nilai-nilai kebudayaan. Sikap ini dipanggil oleh suatu anggapan bahwa kebudayaan dirinya kebih unggul dari kebudayaan lainnya. Bersama itu pula ia menyebarkan kebudayaannya, bila perlu dengan kekuatan atau paksaan.
Proses diatas sering dipergunakan stereotype, yaitu gambaran atau anggapan ejek. Dengan demikian dikembangkan sikap-sikap tertentu, misalnya mengejek, mengdeskreditkan atau mengkambinghitamkan golongan-golongan tertentu. Stereotype diartikan sebagai tanggapan mengenai sifat-sifat dan waktu pribadi seseorang atau golongan yang bercorak nnegatif sebagai akibat tidak lengkapnya informasi dan sifatnya yang subjektif.
Dalam melakukan penilaian mengenai sesuati, seseorang cenderung menyederhanakan kategori ke dalam dua kutub, seperti kaya miskinm rajin malas, pintar bodoh. Kecenderungan
Ethnosentrisme dan Stereotype Perasaan dalam dan luar kelompok merupakan dasar untuk suatu sikap yang disebut dengan ethnosentrisme. Anggota dalam lingkungan suatu kelompok , punyai kecenderungan untuk menganggap segala yang termasuk dalam kebudayaan kelompok sendiri sebagai utama, baik riil, logis, sesuai dengan kodrat alam, dan sebagainya, dan segala yang berbeda dan tidak masuk ke dalam kelompok sendiri dipandang kurang baik, tidak susila, bertentangan dengan kehendak alam dan sebagainya. Jecenderungan-jecenderungan tersebut disebut dengan enthosentrisme, yaitu sikap untuk menilai unsur-unsur kebudayaan orang lain dengan mempergunakan ukuran-ukuran kebudayaan sendiri.
Sikap enthosentrisme ini diajarkan kepada anggota kelompok baik secara sadar maupun secara tidak sadar, bersama dengan nilai-nilai kebudayaan. Sikap ini dipanggil oleh suatu anggapan bahwa kebudayaan dirinya kebih unggul dari kebudayaan lainnya. Bersama itu pula ia menyebarkan kebudayaannya, bila perlu dengan kekuatan atau paksaan.
Proses diatas sering dipergunakan stereotype, yaitu gambaran atau anggapan ejek. Dengan demikian dikembangkan sikap-sikap tertentu, misalnya mengejek, mengdeskreditkan atau mengkambinghitamkan golongan-golongan tertentu. Stereotype diartikan sebagai tanggapan mengenai sifat-sifat dan waktu pribadi seseorang atau golongan yang bercorak nnegatif sebagai akibat tidak lengkapnya informasi dan sifatnya yang subjektif.
Dalam melakukan penilaian mengenai sesuati, seseorang cenderung menyederhanakan kategori ke dalam dua kutub, seperti kaya miskinm rajin malas, pintar bodoh. Kecenderungan
menyederhanakan secara maksimal ini disebabkan
individu lebih mudaj melakukan hal ini dari pada melakukan penilaian secara
majemuk. Dengan demikian stereotype bukan saja suatu kategori yang tetap,
tetapi juga mengandung penyederhanaan dan pemukulrataan secara berlebihlebihan.
Penyederhanaan dan pemukul rataan mengandung stereotype, sehingga merupakan
dasar dari prasangka.
3. Jelaskan
Tentang Diskriminasi dan Ketegangan dalam Masyarakat
-
Diskriminasi
Menyangka-nyangka
atau lebih dikenal dengan sebutan prasangka, menurut pribadi saya adalah suatu
asumsi terhadap seseorang melalui pemikiran tentang suatu hal/kejadian yang
belum tentu benar, tetapi orang tersebut sudah men-judge dahulu hal/kejadian
yang dilakukan seseorang itu adalah buruk. Mungkin terlalu rumit untuk
dijelaskan dan dipahami, tetapi biasanya orang Indonesia lebih sering
menggunakan kata “Sukhuzon” daripada menggunakan kata prasangka.
Disamping
prasangka ada juga yang disebut dengan diskriminasi. Berprasangka tentu berbeda
dengan ber-diskriminasi. Bagi saya, prasangka lebih ke arah karakter/sifat
seseorang tetapi berbeda dengan diskriminasi yang cenderung ke arah tindakan.
Diskriminasi pada dasarnya berarti tidak adil. Tidak adil terhadap apa?!? Tidak
adil berupa tindakan dimana seorang individu diperlakukan tidak secara adil terhadap
kondisi fisik sesorang, suku, golongan, ras, agama, cara pandang dan lain-lain.
Orang yang diskriminasi cenderung lebih memilih teman dan membeda-bedakan
orang. Untuk menghindari terjadinya tindakan-tindakan diskriminasi diperlukan:
a.
Pendidikan yang cukup.
b.
Menjadi dewasa dalam cara berpikir.
c.
Saling menghormati dan menghargai setiap anggota masyarakat disekitarnya.
Kita
sebagai manusia cenderung berpikir bahwa apa yang kita lakukan itu adalah
hal-hal dan pemikiran kita itu adalah yang benar, yang terbaik, dan lebih
berpikir bahwa apa yang sudah kita lakukan itu lebih benar dari yang lainnya.
Hal semacam ini disebut dengan etnosentrisme. Etnosentrisme adalah sikap
cenderung mengganggap nilai dan norma kebudayaannya lebih unggul dan terbaik
dan membedakannya dengan kebubudayaan lain. Biasanya saya menemukan orang-orang
yang sepertinya memiliki sifat etnosentrisme ini dengan ciri-ciri bertingkah
laku kaku, tidak luwes dan peka, dan canggung dalam bergaul.
-
Ketegangan dalam Masyarakat
Ketegangan
dalam masyarakat menurut saya sering terjadi dalam masyarakat di Indonesia.
Adanya perbedaan-perbedaan dalam interaksi masyarakat merupakan faktor penyebab
timbulnya ketegangan dalam masyarakat yang biasa disebut konflik. Konflik dalam
masyarakat bukan berupa perang fisik, walaupun terkadang ada juga yang sampai
beradu fisik untuk menyelesaikan konflik tersebut. Konflik terjadi karena
perbedaan nilai, norma, aturan antara kelompok yang berselisih dalam
masyarakat.
Untuk
men-solve konflik masyarakat, saya menyimpulkan beberapa cara yaitu: Melakukan
voting, Musyawarah dan berdiskusi dengan pemimpin masyarakat, atau sampai
mengundurkan diri untuk menclear masalah.
4. Golongan-golongan
yang Berbeda dan Interaksi social, jelaskan.
Untuk mendalami lebih jauh mengenai materi tentang
kontrol sosial, kita akan melihat dengan mengkaitkan materi mengenai interaksi
sosial. Interaksi sosial didefinisikan sebagai proses dimana orang-orang yang
berkomunikasi saling mempengaruhi dalam tindakan dan pikiran. Pertanyaannya sekarang
adalah mengapa orang-orang itu terlibat di dalam interaksi? Jawabannya
sederhana saja, kita tinggal mengembalikan kepada asumsi dasar mengenai
manusia, yaitu manusia adalah mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, maka
manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia saling membutuhkan. Dan untuk
memenuhi kebutuhannya, maka manusia harus melakukan interaksi. Dengan
interaksi, kebutuhan manusia akan dapat terpenuhi.
Kalau kita
bicara megenai interaksi, maka setidaknya kita akan bicara mengenai dua orang.
Oleh Simmel hubungan yang terjadi antara dua orang ini dikatakan sebagai
kelompok dyadic (kelompok dua-an). Dalam kelompok ini, kondisi yang
terjadi adalah kemungkinan untuk terputusnya interaksi menjadi sangat besar.
Bayangkan jika Anda berinteraksi dengan salah satu teman Anda, kemudian teman
Anda pergi meninggalkan Anda, maka Anda hanya akan tinggal sendiri dan tidak
bisa lagi melakukan interaksi. Lain halnya bila interaksi yang Anda lakukan
terjadi bersama tiga orang teman Anda. Jika salah satu pergi meninggalkan Anda,
maka interaksi masih bisa dilakukan dengan rekan Ada yang lain yang masih
tinggal. Untuk itulah Simmel mencoba mengukur mutu suatu kelompok dengan
mendasarkan pada jumlah anggota kelompok. Semakin besar jumlah anggota kelompok
yang ada, maka kelompok itu dapat dikatakan memiliki mutu yang semakin tinggi.
Namun hal itu tentu saja masih diperdebatkan, karena terkesan terlalu
menyederhanakan suatu masalah.
Lebih
lanjut Simmel juga menegaskan bahwa dalam kelompok tryadic (kelompok
tiga- an) ada beberapa macam, yaitu:
1)
Kelompok dimana orang ketiga
berperan sebagai mediator. Orang ketiga ini akan menjadi penengah ketika antara
dua orang dalam kelompok yang lain saling bertengkar.
2)
Kelompok dimana orang ketiga
berperan sebagai tertius gaudiens. Orang ketiga ini akan menjadi senang
ketika antara dua orang dalam kelompok yang lain saling bertengkar, karena ia
akan dapat mengambil keuntungan dari pertengkaran tersebut.
3)
Kelompok dimana orang ketiga
berperan sebagai devide et impera. Orang ketiga ini akan menjadi
"provokator" atau selalu mengadu domba antar anggota kelompok
lainnya, agar mereka bertengkar.
Pertanyaan
berikutnya adalah bagaimana interaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih
atau lebih jauh lagi di dalam masyarakat? Untuk membahas lebih jauh ada baiknya
jika kita menggunakan konsep yang dikatakan sebagai kontrol sosial. Jika kita
bicara mengenai kontrol sosial, maka kita setidaknya harus mengetahui terlebih
dahulu mengenai 3 pandangan dalam sosiologi, dalam memandang keberadaan
individu dan masyarakat. Masing-masing pandangan berbeda dalam menempatkan
kontrol sosial dan lebih jauh lagi dalam menempatkan interaksi antara
anggotanya. Mari kita lihat satu persatu. .
·
Golongan yang memberi penekanan pada
masyarakat, memandang bahwa masyarakat mempengaruhi individu dalam melakukan
interaksinya. Golongan ini dipelopori oleh Durkheim yang memperkenalkan
konsepnya yang terkenal, yaitu fakta sosial. Masyarakat mempengaruhi individu,
dengan kata lain ada kontrol sosial yang ada di dalam masyarakat yang
mempengaruhi interaksi yang terjadi antara individu. Kontrol sosial
didefinsikan sebagai cara yang dipakai masyarakat untuk mengendalikan si
penyimpang pada jalur yang sudah diyakini masyarakat sebagai garis yang benar.
Dengan demikian, dalam melakukan interaksinya, individu-individu dikontrol oleh
suatu di luar dirinya, yang kita katakan sebagai kontrol sosial. Ambil contoh
berikut sebagai ilustrasi. Bayangkan Anda sekarang ini berada di rumah. Anda
ingin berinteraksi dengan orang tua. Maka Anda diharuskan untuk menunggu orang
tua Anda bangun pagi, baru Anda diperbolehkan bicara. Anda dilarang untuk
membangunkan orang tua. Nah ada kontrol sosial yang mengatur Anda dalam
berinteraksi di rumah. Kemudian Anda keluar rumah dan pergi ke kampus. Di
lingkungan kampus, kembali Anda dihadapkan pada kontrol sosial yang berbeda
dengan apa yang Anda hadapi di rumah. Dan lagi-lagi Anda dihadapkan pada
seperangkat aturan yang mengkontrol interaksi Anda dengan orang lain. Misalnya
saja di dalam ruang kuliah Anda tidak boleh bicara dengan rekan Anda di
sebelah. Anda tidak boleh makan di ruang kuliah, dan sebagainya. Semua itu
merupakan kontrol sosial yang mempengarui interaksi yang Anda lakukan. Dengan
demikian terlihatlah bahwa masyarakat (dalam hal ini digambarkan dengan kontrol
sosial) mempengaruhi individu (digambarkan dengan interaksi).
Hal
ini menjadi semakin jelas bila kita mengkaitkan interaksi dengan stratifikasi.
Dalam stratifikasi kita mengenal adanya pembedaan kelas, dimana dalam kelas
yang berbeda, maka interaksi yang ada juga akan berbeda. Sebagai ilustrasi,
Anda bisa saja mengatakan dengan gaya prokem kepada rekan Anda dengan memakai
kata-kata "lu, gue", sedangkan hal yang sama tidak mungkin Anda
lakukan bila Anda berhadapan dengan dosen. Nah kondisi ini menggambarkan
bagaimana interaksi yang terjadi antar individu dipengaruhi oleh kontrol sosial
yang ada di dalam masyarakat.
·
Golongan yang kedua, memberikan
penekanan yang berlawanan dengan golongan pertama. Golongan ini dipelopori oleh
Weber, yang memperkenalkan konsep tentang "meaning" atau makna. Bukan
masyarakat yang memegang peranan penting, namun justru individulah yang
memegang peran sentral. Individu memiliki kebebasan dalam melakukan interaksi.
Memang golongan ini mengakui bahwa ada sesuatu di luar diri manusia yang
mempengaruhi individu dalam berinteraksi, namun individu memiliki kebebasan
untuk menentukan sendiri apa yang akan dia lakukan. Jika Durkheim menganggap
reaksi yang diberikan individu berbeda dengan apa yang ada di masyarakat, maka
dikatakan sebagai penyimpangan, namun lain halnya dengan Weber, yang menganggap
perbedaan reaksi yang diberikan merupakan suatu hal yang wajar dan bukan
penyimpangan, karena manusia merupakan individu yang unik. Dalam pandangan
Weber kontrol sosial tidak terlihat secara jelas dalam mempengaruhi interaksi.
Yang ditekankan dalam golongan ini untuk melakukan interaksi adalah adanya
kesamaan arti terhadap apa yang dikomunikasikan oleh individu. Interaksi
tentunya tidak akan berjalan sebagaimana mestinya jika orang-orang yang saling
berinteraksi tidak memiliki kesamaan arti. Bayangkan jika Anda berinteraksi
dengan orang Jawa kuno, yang sangat kolot. Dalam interaksi tersebut Anda
menunjuk orang tersebut dengan jari telunjuk (sesuatu hal yang wajar dalam
masyarakat umum). Yang terjadi kemudian adalah ia akan menjadi marah, karena
dalam adat orang Jawa tersebut, tindakan yang Anda lakukan adalah tidak sopan.
(untuk menunjuk sesorang dengan status yang lebih tinggi biasanya digunakan ibu
jari dan bukan jari telunjuk). Nah terlihat jelas bukan, bahwa kesamaan arti
merupakan suatu hal yang krusial dalam melakukan interaksi. Lebih jelas lagi
jika Anda mencoba menjawab pertanyaan ini, "mungkinkah Anda berbicara
dengan suku Indian di Amerika yang hanya bisa berbahasa Indian?"
·
Golongan yang ketiga boleh dikatakan
golongan yang mencoba menjembatani kedua golongan yang berlawanan penekanan
tersebut. Golongan ini dipelopori oleh Berger, yang memperkenalkan konsep eksternalisasi
dan internalisasi. Untuk golongan ini terlihat jelas bagaimana proses interaksi
berlangsung, dan bagaimana kontrol sosial mempengaruhi proses interaksi
tersebut. Mari kita lihat bersama-sama. Individu sebagai mahluk sosial,
memiliki beberapa kebutuhan yang hanya dapat ia terima melalui orang lain.
Individu perlu berinteraksi dengan sesama. Pada saat yang bersamaan individu
melakukan suatu proses yang oleh Berger dikatakan sebagai eksternalisasi.
Konsep ini didefinisikan sebagai upaya mengungkapkan apa yang ada di dalam diri
individu. Proses ini menggambarkan apa yang diungkapkan oleh Weber, bahwa
individu bebas mengungkapkan apa yang ada di dalam dirinya. Apa yang
diungkapkan oleh individu setelah melalui proses pada akhirnya akan menjadi
sesuatu yang mapan, sesuatu yang sudah diakui secara bersama oleh suatu
komunitas, yang oleh Berger dikatakan bahwa pada saat itu telah terjadi
objektivikasi. Kemudian setelah melalui proses berikutnya si individu justru
berperilaku sesuai dengan apa yang sudah mapan, yang oleh Berger dikatakan
sebagai internalisasi, yaitu menyerap apa yang ada di luar individu), lalu
dimana proses interaksi berlangsung? Boleh dikata proses interaksi bisa
berlangsung pada saat individu melakukan eksternalisasi, pada saat individu
melakukan objektivikasi, dan pada saat individu melakukan internalisasi. Dengan
kata lain apa yang dilakukan oleh individu, berada dalam kerangka interaksi
individu dengan lingkungan sekitarnya.
5.
Pengertian Interaksi Sosial
Interaksi sosial
merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antarindividu,
individu (seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Tanpa
adanya interkasi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Proses
sosial adalah suatu interaksi atau hubungan timbal balik
atau saling mempengaruhi antar manusia yang berlangsung sepanjang hidupnya
didalam amasyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, proses sosial diartikan sebagai
cara-cara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompok-kelompok
sosial saling bertemu serta menentukan sistem dan bentuk hubungan sosial.
Homans ( dalam Ali, 2004: 87) mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman
dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya.
Konsep yang dikemukakan oleh Homans ini mengandung
pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan
oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu
lain yang menjadi pasangannya.
Sedangkan menurut Shaw, interaksi sosial adalah suatu pertukaran antarpribadi yang masing-
masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan
masing- masing perilaku mempengaruhi satu sama lain. Hal senada juga dikemukan
oleh Thibaut dan Kelley bahwa interaksi sosial
sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau
lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau
berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang
bertujuan untuk mempengaruhi individu lain.
Menurut Bonner ( dalam Ali, 2004) merupakan suatu hubungan
antara dua orang atau lebih individu, dimana kelakuan individu mempengaruhi,
mengubah atau mempengaruhi individu lain atau sebaliknya.
Menurut beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa,
interaksi adalah hubungan timbal balik anatara dua orang atau lebih, dan
masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif.
Dalam interaksi juga lebih dari sekedar terjadi hubungan antara pihak- pihak
yang terlibat melainkan terjadi saling mempengaruhi.
Sumber
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/isip4110/faktor_stra.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar