LATAR BELAKANG
Kemajuan sebuah Negara sangat
ditentukan dari sektor perindustrian, tak terkecuali juga di Indonesia.
Pertumbuhan industri di Indonesia dimulai pada tahun 1967, sedangkan
industri-industri sebelum periode tersebut merupakan warisan zaman penjajahan.
Pembangunan industri di Indonesia ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 Tahun
1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Latar belakang pembangunan industri
adalah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, yaitu ada upaya memproduksi
besar-besaran kebutuhan dasar.
Kebutuhan dasar masyarakat harus dipenuhi dalam waktu
sesingkat-singkatnya.
Tujuan pembangunan nasional ialah
untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan
spiritual berdasarkan Pancasila, serta bahwa hakekat Pembangunan Nasional
adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya. Maka landasan pelaksanaan
Pembangunan Nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di samping
itu pelaksanaan pembangunan sekaligus harus menjamin pembagian pendapatan yang
merata bagi seluruh rakyat
sesuai rasa keadilan, dalam rangka mewujudkan keadilan sosial sehingga
di satu pihak pembangunan itu tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan
produksi, melainkan sekaligus mencegah melebarnya jurang pemisah antara yang
kaya dan miskin.
Dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional diperlukan perangkat hukum yang
secara jelas mampu melandasi upaya pengaturan, pembinaan, dan pengembangan perindustrian
dalam arti yang seluas-luasnya tatanan dan seluruh kegiatan industri.
Pemerintah telah menghasilkan suatu produk hukum yang khusus mengatur hal-hal
mengenai sangkut paut dengan industri, yaitu UndangUndang No. 5 Tahun 1984
Tentang Perindustrian.
Dari uraian di atas dapat dimengerti
bahwa pengaturan kewenangan perindustrian pada hakekatnya untuk mewujudkan
masyarakat adil makmur yang merata. Guna mewujudkan cita-cita luhur bangsa
Indonesia tersebut, Pemerintah melakukan beberapa kegiatan yang salah satunya
untuk mendorong laju perkembangan perekonomian nasional. Pertumbuhan laju
industri merupakan andalan pemerintah dalam upaya meningkatkan perekonomian
Indonesia.
Krisis moneter dengan ditandai
kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dollar dan jatuh tempo pembayaran utang
luar Negeri yang mengakibatkan inflasi. Sehingga rezim orde baru berakhir
dengan lengsernya Presiden Soeharto, yang kemudian menjadi awal reformasi.
Salah satu hasilnya dari reformasi adalah otonomi daerah yang diatur dalam Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka kewenangan daerah akan
sedemikian kuat dan luas sehingga diperlukan suatu peraturan perundang-undangan
yang ketat untuk menghindari ketidakteraturan pengaturan kewenangan dalam era
otonomi daerah yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.
Perubahan mendasar yang terjadi adalah mengubah pola hubungan Pemerintah Pusat
dan
Pemerintah daerah, yang bertujuan
mendekatkan pemerintahan dengan rakyatnya. Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan
rakyat secara keseluruhan atau mendekatkan antara pemberi layanan dan penerima
layanan, akan meningkatan kualitas layanan kepada masyarakat.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA
LEMBARAN - NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
REPUBLIK INDONESIA
No.22,1984
|
FINEK. INDUSTRI.Ekonomi. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran
Negara Republik INDONESIA Nomor 3274).
|
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1984
TENTANG
PERINDUSTRIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
NOMOR 5 TAHUN 1984
TENTANG
PERINDUSTRIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk
mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan
spiritual berdasarkan Pancasila, serta bahwa hakekat Pembangunan Nasional
adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya, maka landasan pelaksanaan
Pembangunan Nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
|
b.
|
bahwa arah pembaungunan jangka panjang di bidang
ekonomi dalam pembangunan nasional adalah tercapainya struktur ekonomi yang
seimbang yang di dalamnya terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju
yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh, serta
merupakan pangkal tolak bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang
atas kekuatannya sendiri;
|
||
c.
|
bahwa untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang
ekonomi dalam pembangunan nasional, industri memegang peranan yang menentukan
dan oleh karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu
dengan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan
secara optimal seluruh sumber daya alam, manusia, dan dana yang tersedia;
|
||
d.
|
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan
untuk memberikan dasar yang kokoh bagi pengaturan, pembinaan, dan
pengembangan industri secara mantap dan berkesinambungan serta belum adanya
perangkat hukum yang secara menyeluruh mampu melandasinya, perlu dibentuk
Undang-Undang tentang Perindustrian;
|
Mengingat
|
:
|
1.
|
Pasal 5 ayat (1),Pasal 20 ayat (1),Pasal 27 ayat
(2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
|
|
2.
|
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1960 tentang
Statistik (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2048);
|
|||
3.
|
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2832);
|
|||
4.
|
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2918);
|
|||
5.
|
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
|
|||
6.
|
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun
1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
|
|||
7.
|
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3243);
|
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
|
:
|
UNDANG-UNDANG TENTANG PERINDUSTRIAN.
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
|
1.
|
Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan
yang bertalian dengan kegiatan industri.
|
2.
|
Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah
bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi
barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan
rancang bangun dan perekayasaan industri.
|
3.
|
Kelompok industri adalah bagian-bagian utama
kegiatan industri, yakni kelompok industri hulu atau juga disebut kelompok
industri dasar, kelompok industri hilir, dan kelompok industri kecil.
|
4.
|
Cabang industri adalah bagian suatu kelompok
industri yang mempunyai ciri umum yang sama dalam proses produksi.
|
5.
|
Jenis industri adalah bagian suatu cabang industri
yang mempunyai ciri khusus yang sama dan/atau hasilnya bersifat akhir dalam
proses produksi.
|
6.
|
Bidang usaha industri adalah lapangan kegiatan yang
bersangkutan dengan cabang industri atau jenis industri.
|
7.
|
Perusahaan industri adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan di bidang usaha industri.
|
8.
|
Bahan mentah adalah semua bahan yang didapat dari
sumber daya alam dan/atau yang diperoleh dari usaha manusia untuk
dimanfaatkan lebih lanjut.
|
9.
|
Bahan baku industri adalah bahan mentah yang diolah
tau tidak diolah yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana produksi dalam
industri.
|
10.
|
Barang setengah jadi adalah bahan mentah atau bahan
yang telah mengalami satu atau beberapa tahap proses industri yang dapat
diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.
|
11.
|
Barang jadi adalah barang hasil industri yang sudah
siap pakai untuk konsumsi akhir ataupun siap pakai sebagai alat produksi.
|
12.
|
Teknologi industri adalah cara pada proses
pengolahan yang diterapkan dalam industri.
|
13.
|
Teknologi yang tepat guna adalah teknologi yang tepat
dan berguna bagi suatu proses untuk menghasilkan nilai tambah.
|
14.
|
Rancang bangun industri adalah kegiatan industri
yang berhubungan dengan perencanaan pendirian industri/pabrik secara
keseluruhan atau bagian-bagiannya.
|
15.
|
Perekayasaan industri adalah kegiatan industri yang
berhubungan dengan perancangan dan pembuatan mesin/peralatan pabrik dan
peralatan industri lainnya.
|
16.
|
Standar industri adalah ketentuan-ketentuan
terhadap hasil produksi industri yang disatu segi menyangkut bentuk, ukuran,
komposisi, mutu, dan lain-lain serta di segi lain menyangkut cara mengolah,
cara menggambar, cara menguji dan lain-lain.
|
17.
|
Standardisasi industri adalah penyeragaman dan
penerapan dari standar industri.
|
18.
|
Tatanan industri adalah tertib susunan dan pengaturan
dalam arti seluas-luasnya bagi industri.
|
BAB II
LANDASAN DAN TUJUAN PEMBANGUNAN INDUSTRI
Pasal 2
Pembangunan industri berlandaskan demokrasi
ekonimi, kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan diri sendiri, manfaat, dan
kelestarian lingkungan hidup.
|
Pasal 3
Pembangunan industri bertujuan untuk :
|
1.
|
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
secara adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam, dan/atau
hasil budidaya serta dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan
hidup;
|
2.
|
meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara bertahap,
mengubah struktur perekonomian ke arah yang lebih baik, maju, sehat, dan
lebih seimbang sebagai upaya untuk mewujudkan dasar yang lebih kuat dan lebih
luas bagi pertumbuhan ekonomi pada umumnya, serta memberikan nilai tambah
bagi pertumbuhan industri pada khususnya;
|
3.
|
meningkatkan kemampuan dan penguasaan serta
mendorong terciptanya teknologi yang tepat guna dan menumbuhkan kepercayaan
terhadap kemampuan dunia usaha nasional;
|
4.
|
meningkatkan keikutsertaan masyarakat dan kemampuan
golongan ekonomi lemah, termasuk pengrajin agar berperan secara aktif dalam
pembangunan industri;
|
5.
|
memperluas dan memeratakan kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha, serta meningkatkan peranan koperasi industri;
|
6.
|
meningkatkan penerimaan devisa melalui peningkatan
ekspor hasil produksi nasional yang bermutu, disamping penghematan devisa
melalui pengutamaan pemakaian hasil produksi dalam negeri, guna mengurangi
ketergantungan kepada luar negeri;
|
7.
|
mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan industri yang
menunjang pembangunan daerah dalam rangka pewujudan Wawasan Nusantara;
|
8.
|
menunjang dan memperkuat stabilitas nasional yang
dinamis dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional.
|
BAB III
PEMBANGUNAN INDUSTRI
Pasal 4
PEMBANGUNAN INDUSTRI
Pasal 4
(1)
|
Cabang industri yang penting dan strategis bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
|
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
Pasal 5
(1)
|
Pemerintah menetapkan bidang usaha industri yang
masuk dalam kelompok industi kecil, termasuk industri yang menggunakan
ketrampilan tradisional dan industri penghasil benda seni, yang dapat
diusahakan hanya oleh Warga Negara Republik Indonesia.
|
(2)
|
Pemerintah menetapkan jenis-jenis industri yang
khusus dicadangkan bagi kegiatan industri kecil yang dilakukan oleh
masyarakat pengusaha dari golongan ekonomi lemah.
|
(3)
|
Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
Pasal 6
Pemerintah menetapkan bidang usaha industri untuk
penanaman modal, baik modal dalam negeri maupun modal asing.
|
BAB IV
PENGATURAN,PEMBINAAN, DAN
PENGEMBANGAN INDUSTRI
Pasal 7
PENGATURAN,PEMBINAAN, DAN
PENGEMBANGAN INDUSTRI
Pasal 7
Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan
terhadap industri, untuk :
|
1.
|
mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik,
secara sehat dan berhasil guna;
|
2.
|
mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta
mencegah persaingan yang tidak jujur;
|
3.
|
mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh
satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan
masyarakat.
|
Pasal 8
Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan
pengembangan bidang usaha industri secara seimbang, terpadu, dan terarah
untuk memperkokoh struktur industri nasional pada setiap tahap perkembangan
industri.
|
Pasal 9
Pengaturan dan pembinaan bidang usaha industri
dilakukan dengan memperhatikan :
|
1.
|
Penyebaran dan pemerataan pembangunan industri
dengan memanfaatkan sumber daya alam dan manusia dengan mempergunakan proses
industri dan teknologi yang tepat guna untuk dapat tumbuh dan berkembang atas
kemampuan dan kekuatan sendiri;
|
2.
|
Penciptaan iklim yang sehat bagi pertumbuhan
industri dan pencegahan persaingan yang tidak jujur antara
perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan industri, agar dapat
dihindarkan pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau
perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat;
|
3.
|
Perlindungan yang wajar bagi industri dalam negeri
terhadap kegiatan-kegiatan industri dan perdagangan luar negeri yang
bertetangan dengan kepentingan nasional pada umumnya serta kepentingan
perkembangan industri dalam negeri pada khususnya;
|
4.
|
Pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran
terhadap lingkungan hidup, serta pengamanan terhadap keseimbangan dan
kelestarian sumber daya alam.
|
Pasal 10
Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan
bagi :
|
1.
|
keterkaitan antara bidang-bidang usaha industri
untuk meningkatkan nilai tambah serta sumbangan yang lebih besar bagi
pertumbuhan produksi nasional;
|
2.
|
keterkaitan antara bidang usaha industri dengan
sektor-sektor bidang ekonomi lainnya yang dapat meningkatkan nilai tambah
serta sumbangan yang lebih besar bagi pertumbuhan produksi nasional;
|
3.
|
pertumbuhan industri melalui prakarsa, peran serta,
dan swadaya masyarakat.
|
Pasal 11
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap
perusahaan-perusahaan industri dalam menyelenggarakan kerja sama yang saling
menguntungkan, dan mengusahakan peningkatan serta pengembangan kerja sama
tersebut.
|
Pasal 12
Untuk mendorong pengembangan cabang-cabang industri
dan jenis-jenis industri tertentu di dalam negeri, Pemerintah dapat
memberikan kemudahan dan/atau perlindungan yang diperlukan.
|
BAB V
IZIN USAHA INDUSTRI
Pasal 13
IZIN USAHA INDUSTRI
Pasal 13
(1)
|
Setiap pendirian perusahaan industri baru maupun
setiap perluasannya wajib memperoleh izin Usaha Industri.
|
(2)
|
Pemberian Izin Usaha Industri terkait dengan
pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri.
|
(3)
|
Kewajiban memperoleh Izin Usaha Industri dapat
dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.
|
(4)
|
Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih dengan Peraturan Pemerintah.
|
Pasal 14
(1)
|
Sesuai dengan Izin Usaha Industri yang diperolehnya
berdasarkan Pasal 13 ayat (1), perusahaan industri wajib menyampaikan
informasi industri secara berkala mengenai kegiatan dan hasil produksinya
kepada Pemerintah.
|
(2)
|
Kewajiban untuk menyampaikan informasi industri
dapat dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri
kecil.
|
(3)
|
Ketentuan tentang bentuk, isi, dan tata cara
penyampaian informasi industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
Pasal 15
(1)
|
Sesuai dengan Izin Usaha Industri yang diperolehnya
berdasarkan Pasal 13 ayat (1), perusahaan industri wajib melaksanakan upaya
yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksinya
termasuk pengangkutannya.
|
(2)
|
Pemerintah mengadakan pembinaan berupa bimbingan
dan penyuluhan, mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut keamanan dan
keselamatan alat, proses serta hasil produksi industri termasuk
pengangkutannya.
|
(3)
|
Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian
yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksi
industri termasuk pengangkutannya.
|
(4)
|
Tata cara penyelenggaraan pengawasan dan
pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
BAB VI
TEKNOLOGI INDUSTRI, DESAIN PRODUK INDUSTRI, RANCANG BANGUN DAN PEREKAYASAAN INDUSTRI, DAN STANDARDISASI
TEKNOLOGI INDUSTRI, DESAIN PRODUK INDUSTRI, RANCANG BANGUN DAN PEREKAYASAAN INDUSTRI, DAN STANDARDISASI
Pasal 16
(1)
|
Dalam menjalankan dan/atau mengembangkan bidang
usaha industri, perusahaan industri menggunakan dan menciptakan teknologi
industri yang tepat guna dengan memanfaatkan perangkat yang tersedia dan
telah dikembangkan di dalam negeri.
|
(2)
|
Apabila perangkat teknologi industri yang
diperlukan tidak tersedia atau tidak cukup tersedia di dalam negeri,
Pemerintah membantu pemilihan perangkat teknologi industri dari luar negeri
yang diperlukan dan mengatur pengalihannya ke dalam negeri.
|
(3)
|
Pemilihan dan pengalihan teknologi industri dari
luar negeri yang bersifat strategis dan diperlukan bagi pengembangan industri
di dalam negeri, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
Pasal 17
Desain produk industri mendapat perlindungan hukum
yang ketentuan-ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
Pasal 18
Pemerintah mendorong pengembangan kemampuan rancang
bangun dan perekayasaan industri.
|
Pasal 19
Pemerintah menetapkan standar untuk bahan baku dan
barang hasil industri dengan tujuan untuk menjamin mutu hasil industri serta
untuk mencapai daya guna produksi.
|
BAB VII
WILAYAH INDUSTRI
WILAYAH INDUSTRI
Pasal 20
(1)
|
Pemerintah dapat menetapkan wilayah-wilayah pusat
pertumbuhan industri serta lokasi bagi pembangunan industri sesuai dengan tujuannya
dalam rangka pewujudan Wawasan Nusantara.
|
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
BAB VIII
INDUSTRI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 21
INDUSTRI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 21
(1)
|
Perusahaan industri wajib melaksanakan upaya
keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta pencegahan timbulnya
kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidupĆ¾ akibat kegiatan industri
yang dilakukannya.
|
(2)
|
Pemerintah mengadakan pengaturan dan pembinaan
berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan pencegahan kerusakan dan
penanggulangan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri.
|
(3)
|
Kewajiban melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok
industri kecil.
|
BAB IX
PENYERAHAN KEWENANGAN DAN URUSAN TENTANG INDUSTRI
Pasal 22
PENYERAHAN KEWENANGAN DAN URUSAN TENTANG INDUSTRI
Pasal 22
Penyerahan kewenangan tentang pengaturan,
pembinaan, dan pengembangan terhadap industri, diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
|
Pasal 23
Penyerahan urusan dan penarikannya kembali mengenai
bidang usaha industri tertentu dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah yang nyata, dinamis, dan
bertanggung jawab, dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.
|
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 24
KETENTUAN PIDANA
Pasal 24
(1)
|
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(1) dan Pasal 14 ayat (1) dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau
denda sebanyak-banyaknya Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dengan
hukuman tambahan pencabutan Izin Usaha Industrinya.
|
(2)
|
Barang siapa karena kelalaiannya melakukan
perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(1) dan Pasal 14 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun
atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dengan
hukuman tambahan pencabutan Izin Usaha Industrinya.
|
Pasal 25
Barang siapa dengan sengaja tanpa hak melakukan
peniruan desain produk industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dipidana
penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
|
Pasal 26
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,
dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya
Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dengan hukuman tambahan dicabut
Izin Usaha Industrinya.
|
Pasal 27
(1)
|
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) dipidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
sebanyak-banyaknya Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
|
(2)
|
Barang siapa karena kelalaiannya melakukan
perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda
sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
|
Pasal 28
(1)
|
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (1), Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 ayat (1) adalah kejahatan.
|
(2)
|
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (2), dan Pasal 27 ayat (2) adalah pelanggaran.
|
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, semua
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perindustrian yang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini tetap berlaku selama belum ditetapkan
penggantinya berdasarkan Undang-Undang ini.
|
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini,
Bedrijfsreglementerings-ordonnantie 1934 (Staatsblad 1938 Nomor 86)
dinyatakan tidak berlaku lagi bagi industri.
|
Pasal 31
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang
ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
Pasal 32
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia
|
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SOEHARTO |
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar